LaNyalla Sebut Parpol Pembuat Aturan Presidential Threshold
JakCityNews (Jakarta) – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menilai kompleksitas persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia salah satunya disebabkan partai politik yang sangat dominan dan bersepakat membuat aturan Presidential Threshold.
Hal itu dikatakan LaNyalla saat menyampaikan Orasi Kebangsaan pada Milad ke-75 Himpunan Mahasiswa Islam Menyongsong 100 Tahun Indonesia, di Gedung Nusantara V, Komplek Parlemen, Senayan, Sabtu (12/2/2022).
Menurut LaNyalla, setelah Amandemen Konstitusi 20 tahun lalu, partai politik mendapat kekuasaan yang sangat besar dalam menentukan arah perjalanan bangsa.
“Dengan kekuasaan itu, lahirnya Undang-Undang Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold,” kata LaNyalla.
LaNyalla menilai, dari sinilah persoalan bangsa semakin komplek. Karena, Presidential Threshold memiliki tiga persoalan mendasar. Pertama, Presidential Threshold yang terdapat dalam Undang-Undang Pemilu jelas bukan merupakan perintah konstitusi. Padahal, Undang-Undang wajib derivatif dari konstitusi.
Baca juga :
- Petrokimia Bertekad Pertahankan Gelar, TNI AL Ingin Bermain Tanpa Beban
- Putra Indomaret Akan Hadapi LavAni di Grand Final
- Putri TNI AL Dampingi Petrokimia di Grand Final, Usai Kalahkan Bank Jatim
- Indomaret dan LavAni Tinggal Selangkah Lagi ke Grand Final
- Petrokimia Gresik Menjadi Tim Pertama yang Lolos ke Grand Final
Kedua, Presidential Threshold bukan keinginan masyarakat, mengingat banyaknya kelompok masyarakat dan para pakar yang mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Ketiga, Presidential Threshold bukan memperkuat sistem presidensiil dan demokrasi, tetapi justru melemahkan mekanisme check and balances yang seharusnya dilakukan legislatif kepada eksekutif.
“Belum lagi kalau kita timbang dari sisi manfaat dan mudarat-nya, jelas Presidential Threshold ini penuh dengan mudarat,” tutur LaNyalla.
Karena fakta di lapangan, ambang batas pencalonan presiden itu menyumbang polarisasi yang tajam di masyarakat akibat minimnya jumlah calon, terutama dalam dua kali Pilpres, di mana hanya dihadapkan dengan dua pasang calon saja.
“Sebagai bangsa, lanjutnya, kita juga disuguhi kegaduhan nasional yang panjang. Di mana sesama anak bangsa saling melakukan bully dan persekusi serta saling melaporkan ke ranah hukum,” ujarnya.
Inilah hasil dari amandemen tahun 2002 yang telah mengubah lebih dari 90 persen isi pasal-pasal di UUD 1945 naskah asli. (Bas/Gatt)