Di Beranda Istana Alhambra (18)
Alhambra dibangun mulai tahun 1238 M oleh seorang panglima bernama Muhammad Ibnu Al Ahmar yang kemudian menjadi Amir dari Imarah atau Emir dari Emirat Granada. Ia menjadi salah satu dari banyak kelompok setelah Dinasti Umayyah hancur, yang dikenal dengan sebutan “Taifah” dalam Bahasa Arab, di wilayah Andalusia yang bersaing satu dengan lainnya.
Granada dibangun saat satu-persatu Taifah dikalahkan oleh Kerajaan Kristen yang terus bergerak dari Utara ke Selatan pelan tetapi pasti.
Dalam situasi seperti ini, antara satu Taifah dengan Taifah lain masih terus bertikai dan saling menjatuhkan. Sebenarnya diantara penguasa Kristen di Utara juga mengalami hal serupa. Perlu kajian khusus mengapa kelompok Kristen semakin hari semakin kuat, sementara kelompok Muslim sebaliknya.
Dari sini nampak jelas bahwa motivasi agama atau persamaan agama, tidak sepenuhnya menjadi alasan terjadinya berbagai pertempuran di wilayah ini, sebagaimana sering dituturkan oleh sejumlah ulama.
Karena politik atau lebih konkritnya kekuasaan memiliki daya tarik luar biasa, dan seringkali mendominasi motivasi manusia dalam bertindak, terutama pada diri seorang pemimpin, dari dahulu sampai sekarang.
Lebih menarik lagi tidak jarang muncul Taifah yang meminta bantuan dari kerajaan-kerajaan Kristen di wilayah Utara untuk mengalahkan saudara Muslimnya yang menjadi tetangganya di Selatan.
Hal ini terlihat nyata dari keterlibatan Penguasa Granada saat itu, yang ikut membantu Kerajaan Kristen untuk merebut Sevilla yang masih dikuasai oleh salah satu Taifah pada tahun 1248.
Dalam situasi seperti inilah, Granada tumbuh dan tetap bertahan sebagai sebuah komunitas plural dan hidup harmoni, dimana antara mayoritas Muslim, dan minoritas Kristen, serta Yahudi, bukan saja hidup berdampingan secara damai, akan tetapi mereka juga mengenakan pakaian yang sama, makan makanan yang sama, dan mendendangkan lagu atau musik yang sama.
Sebutan “Alhambra” berasal dari Bahasa Arab: “ahmar”, yang berarti “merah”. Para sejarawan pada umumnya mengaitkan nama ini dengan warna merah yang mendominasi bangunan benteng dan Istananya.
Akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa bukan mustahil nama Alhambra berasal dari nama belakang pendirinya. Ibnu Al Ahmar merupakan keturunan Nasr yang berasal dari Afrika Utara, karena itu dinasti yang dibangunnya kemudian dikenal dengan Dinasti Nasriah.
Alhambra berada di sebuah puncak bukit. Saat Al Ahmar memilihnya sebagai benteng untuk melindungi pasukannya dari serangan musuh, ia merupakan desa kecil yang kurang diminati karena sulitnya air. Al Ahmar kemudian menggunakan teknologi kincir air bertingkat yang sudah dikuasai oleh Ummat Islam saat itu, untuk memenuhi kebutuhan mandi dan minum.
Dalam perkembangannya, ia menemukan sumber air yang berada di bukit sebelahnya, yang lebih tinggi berjarak sekitar 6 Km dari Alhambra. Karena itu, ia kemudian membuat dam di bukit tersebut, kemudian menyalurkan air yang ditampungnya ke Alhambra, melalui saluran yang dibangun khusus, lengkap dengan bak kontrolnya di beberapa tempat. Dengan demikian, bentengnya mendapatkan suplai air yang melimpah. Salah satu pintu air yang digunakan sebagai pengendali dapat dilihat sebelum kita memasuki gerbang luarnya.
Belakangan keturunan Al Ahmar membangun istana-istana indah yang menawan di dalamnya. Ada paling tidak lima istana yang bentuk dan ukurannya berbeda, yang semuanya membuat para pengunjungnya berdecak kagum. Saat mendisain istana-istana tersebut para Emir keturunan Al Ahmar ingin menghadirkan ke bumi berbagai macam surga yang disebutkan dalam Al Qur’an. Karena itu, istana-istana ini kemuduian dijadikan rujukan untuk menyebut ciri bangunan yang Islami oleh para pengamat arsitektur modern.
Ada paling tidak empat ciri utama istana-istana ini, antara lain: Pertama, adanya air yang mengalir, dan tidak jarang dibuat jatuh bertingkat, sehingga menimbulkan suara gemericik alami. Sebagian diarahkan ke udara dengan menggunakan pipa kecil dalam bentuk air mancur. Kedua, adanya sinar matahari yang menerobos dinding-dindingnya yang dilubangi dengan berbagai bentuk yang mampu menghadirkan cahaya menawan, atau melalui jendela-jendelanya yang membingkai kaca warna-warni dengan bentuk beraneka raagam.
Ketiga, adanya udara yang bebas masuk dan keluar di semua sisinya, sehingga di bagian manapun kita berada, udara akan terasa adem meskipun di Musim Panas. Keempat, tamannya yang hijau dipenuhi berbagai macam bunga yang ditata sedemikian rupa, sehingga taman yang satu berbeda dengan taman yang lain sesuai dengan temanya.
Aku dan Iqbal memasuki Alhambra dipandu oleh seorang guide bernama Yasin yang bisa berbahasa Indonesia. Yang menarik dari Yasin, ia orang Spanyol asli yang beragama Islam. Lebih dari itu, ia mengerti Bahasa Arab meskipun pasif, sehingga ia dapat menjelaskan seluruh isi istana di dalam Alhambra yang ditaburi ayat-ayat Al Qur’an, dengan sangat detail dan akurat, serta penuh penghayatan. Karena penasaran, Aku lalu bertanya:”Dimana Anda belajar Bahasa Indonesia ?”
Y: “Dari turis-turis yang datang kesini”.
A: ”Dan Bahasa Arab ?”.
Y: “Di sekolah, disamping dari Ustad saat mengaji di masjid”.
A: “Sejak kapan Anda beragama Islam ?”.
Y: “Sejak lahir, ayah saya yang mualaf. Ia seorang mualaf pengikut seorang tokoh Islam Sufi yang berasal dari Scotlandia yang datang ke sini, mengenalkan kembali Islam ke Bangsa Spanyol yang saat itu sudah melupakannya”
Q: ”Sebaiknya kita tuntaskan dulu diskusi kita tentang Al Hambra”, kata Iqbal dengan nada bercanda memotong pembicaranku dengan Yasin.
Yasin tersenyum sambil mengucapkan “vale!…vale!…vale!” yang dalam Bahasa Spanyol berari “Ok…OK…OK”, akupun tersenyum sambil meneruskan langkah kami menyusuri ruang-ruang dan taman-taman yang berada di dalam Alhambra.
Setelah melewati semua istana yang berada di dalam kompleks Alhambra, saat berada di serambinya yang dipagari oleh cemara yang ditata menyerupai dinding dengan lengkungan-lengkungan berbagai bentuk, terhampar bunga dengan berbagai jenis yang disusun sedemikian rupa sehingga nampak warna-warni, yang di tengahnya terbentang kolam yang memanjang sepanjang jalan, yang di sisi Kiri dan Kanannya memancar air mancur, Aku memberikan isyarat untuk berhenti sejenak. Yasin dan Iqbal hanya tersenyum, dan Aku langsung menuju kursi panjang yang terbuat dari kayu.
Aku tidak sabar untuk segera menorehkan perasaanku yang campur-aduk antara bangga dan kecewa, bahagia dan sedih. Rasanya Aku ingin mengubah jalannya sejarah. Aku segera buka buku bersampul Merah yang sudah Aku siapkan sejak awal.
Pulpen bergerak ke atas dan ke bawah, mengikuti denyut nadiku, getaran jantungku, imajinasi yang berputar di kepalaku.
Aku seolah mendengar berbagai bisikan para emir, arsitektur, dan para pekerja kaligrafi yang menorehkan keahliannya di dinding-dinding Istana Alhambra.
Berbagai bentuk kaligrafi yang sangat indah seolah hidup dan memiliki ruh untuk menyampaikan pesan-pesannya, diantara yang banyak itu terdapat potongan ayat Al Qur’an: Wala Galib Illallah (tidak ada kemenangan kecuali atas ijin Allah) yang menjadi moto Dinasti Nasriah. Tentu ayat-ayat ini benar sebagaimana terlihat dari kenyataan sejarah, hanya saja kemenangan yang dimaksud ternyata bukan menjadi monopoli Umat Islam.
“La Quata illa Billah” (tidak ada kekuatan kecuali yang bersumber dari Allah), yang tertera di Gerbang Keadilan. “Al Mulk Lillah”(Kerajaan ini milik Allah), tertera di pintu masuk Paviliun Kemenangan. “Al Baqa Lillah Wahdah al-Izzah Lillah Wahdah” (Yang kekal hanya Allah dan Kehormatan Sejati hanya milik Allah), banyak lagi unkapan yang serupa yang menggambarkan bahwa yang kuasa dan abadi hanya Allah, sedangkan yang lainnya bersifat sementara dan lemah.
Ungkapan-ungkapan ini menggambarkan suasana bathin para penguasa Alhambra yang pada saat itu berada dalam posisi politik dan militer sangat lemah. Taiifah-Taifah yang tersisa juga mengalami perasaan yang serupa dengan yang dialami Imarah atau Taifah Nasriah.
Anehnya mereka tetap bersaing, sementara para penguasa Kristen semakin hari semakin bersatu. Ummat Islam yang semula bersatu dan sangat kuat sehingga menguasai seluruh Iberia kecuali menyisakan wilayah sempit di Utara bernama Asturias, kini situasinya berbalik.
Lebih parah lagi, ketika semua Taifah sudah dikalahkan sehingga hanya menyisakan Granada, diantara keluarga Istana Alhambra terus-menerus cekcok memperebutkan kekuasaan, tidak sadar atau tidak peduli bahwa lawan sedang mengintai. Hal ini menyebabkan sedikit demi sedikit wilayahnya direbut lawan.
Berawal dari lepasnya Pelabuhan Gibraltar ke Tangan Raja Alfonso XI, yang berkuasa di Portugal. Pelabuhan yang selama ini menjadi pintu datangnya bantuan dari Afrika Utara. Diikuti dengan lepasnya kota Pelabuhan Almeria ke tangan penguasa Kristen tahun 1489 M, yang berada di perbatasan Utara..
Puncaknya, masalah percekcokan internal keluarga Istana Alhambra, kemudian dimanfaatkan secara baik oleh Ferdinand sebagai Raja Aragon dan Ratu Isabella yang bertahta di wilayah Castile. Pernikahan dua penguasa wilayah Kristen yang semula sering bersaing kemudian bersatu. Persatuan ini membuat ruang manuver Emirat Granada menjadi tertutup.
Pasangan Ferdinand dan Isabella kemudian mengambil dengan mudah wilayah Malaga yang menjadi bagian dari Emirat Granada, dengan cara mengadu-domba keluarga Istana Alhambra.
Lepasnya kota Pelabuhan Malaga yang merupakan satu-satunya kota Pelabuhan yang tersisa, membuat Granada terisolasi dari kemungkinan mendapatkan bantuan dari saudara Muslimnya di Afrika Utara. Karena itu jatuhnya Alhambra sebenarnya hanya masalah waktu saja.
Hari yang ditakutkan itu akhirnya datang juga, saat air mata tidak berguna lagi, meskipun doa-doa terus dipanjatkan, semua ini tidak mampu membendung kekuatan Kristen yang terus mendekat dengan pasti. Setelah dikepung secara sistematis, pada 2 Januari 1492, akhirnya sang Emir Alhambra dan para pengikutnya tidak punya pilihan, kecuali harus menyerah.
Mengingat semua peristiwa ini seakan Tuhan ingin membuktikan untuk kesekian kalinya, bahwa kekuasaan itu tidak kekal, tetapi dipergilirkan antara satu bangsa ke bangsa lainnya.
Ada saatnya doa tidak dikabulkan. Terkadang, Tuhan juga memberikan pelajaran atau hukuman dengan cara yang tidak kita duga, yang semua itu harus dipandang sebagai ujian, untuk menilai siapa diantara kita yang baik atau tidak, yang lulus atau tidak.
Tanganku gemetar menahan rasa sedih dan kecewa seakan mewakili kesedihan penguasa terakhir Alhambra bernama Boabdil yang nama lengkapnya: Muhammad Abu Abdullah, saat menyerahkan kunci Alhambra sebagai simbol kekalahan, yang digambarkan dalam lukisan dimana Ferdinand menunggang kuda berwarna coklat, mengenakan pakaian kebesarannya berwarna merah, lengkap dengan mahkota di kepalanya, didampingnya sang Permaisuri Ratu Isabella, yang juga menunggang kuda putih, dengan pakaian terang, dengan mahkota dikepalanya, menerima kunci dari Boabdil yang berpakaian gelap dan lusuh, dengan kuda hitam, dengan helm perang dalam posisi miring di kepalanya, dan dengan jenggot awut-awutan.
Sebelumnya Yasin menunjukkan sebuah pintu tua berwarna Merah kusam yang terkunci, sebagai pintu dimana Boabdil dan keluarganya keluar meninggalkan Alhambra menuju tempat pengasingan untuk selama-lamanya. Boabdil dan keluarganya diberikan tempat di bukit Sierra Nevada yang berdampingan dengan bukit dimana Alhambra berada, yang lokasinya sampai kini dikenal dengan nama: Puerto del Suspiro del Moro, yang berarti “desah kesedihan Umat Islam”, dimana mereka bisa melihat secara terbuka Alhambra yang sudah bukan miliknya lagi.
Bagiku, Alhambra nampak sebagai simbol atau lambang keagungan, keindahan, cinta, dan airmata.
Saat melangkah meninggalkan Alhambra yang dibangun leluhurnya, Boabdil berkali-kali menoleh ke belakang dan tak kuasa membendung air matanya yang tumpah.
Menyaksikan pemandangan seperti ini, Ibu Surinya yang bernama Aisyah, lalu melontarkan kalimat yang sangat terkenal: “Kau tidak pantas menangis seperti perempuan saat Kau tidak mampu membelanya sebagai laki-laki”.
Mungkin saja Boabdil melakukan kesalahan, akan tetapi tidak semua kesalahan harus dipikulkan di punggungnya.
Kejatuhan Alhambra merupakan akumulasi dari kesalahan kolektif para pemimpin waktu itu, termasuk keluarga Istana Alhambra, yang hanya mengikuti keserakahan akan kekuasaan, ambisi pribadi yang bersifat duniawi, meskipun dikemas seolah-olah semua yang dilakukannya untuk membela Islam, atau Jihad fi Sabilillah.
Baca juga :
- Petrokimia Bertekad Pertahankan Gelar, TNI AL Ingin Bermain Tanpa Beban
- Putra Indomaret Akan Hadapi LavAni di Grand Final
- Putri TNI AL Dampingi Petrokimia di Grand Final, Usai Kalahkan Bank Jatim
- Indomaret dan LavAni Tinggal Selangkah Lagi ke Grand Final
- Petrokimia Gresik Menjadi Tim Pertama yang Lolos ke Grand Final
Raja Ferdinand dan Ratu Isabella dengan perencanaan yang matang dan dengan penuh percaya diri mengepung Istana Alhambra tanpa menyentuhnya, tentu dengan harapan dapat mengambil-alih Istana yang indah ini, dalam keadaan utuh tanpa goresan senjata sedikitpun.
Berbeda dengan istana-istana lain yang diambil dengan paksa, sehingga sebagian hancur dan sulit dikembalikan sebagaimana semula. Salah satu cara yang sangat jitu dan mematikan yang dilakukannya adalah memutus suplai air, sehingga selama berbulan-bulan Istana Alhambra tanpa air.
Dalam perjanjian yang disepakati oleh kedua belah pihak, sebelum penyerahan dilakukan, Boabdil dan keluarga dijamin akan hidup aman di pengasingan, ummat Islam memiliki kebebasan untuk tetap mengamalkan ajarannya, dan seluruh rumah ibadahnya tidak akan diganggu.
Akan tetapi dunia politik punya logikanya sendiri, kesepakatan yang dibuat hanya bertahan sekitar enam tahun, karena munculnya dinamika politik di dua belah pihak.
Pada Ummat Islam terjadi pemberontakan menentang Penguasa, sedangkan pada pihak Kristen muncul dorongan untuk bersikap lebih keras terhadap Ummat Islam yang datangnya dari gereja.
Perlu penelitian lebih lanjut, seberapa besar pengaruh politik global akibat dideklarasikannya Perang Salib oleh Paus Urban II yang bertujuan merebut Yerusalem dari tangan Umat Islam pada tahun 1095.
Sejak saat itu terjadi pertempuran antara Pasukan Kristen yang berasal dari Eropa dengan pasukan Muslim yang berlangsung di Timur Tengah selama puluhan tahun. Pengaruhnya ke Kawasan Iberia naik dan turun, dipengaruhi oleh para penguasa di Vatikan (Roma) pada waktu itu, yang memiliki peran besar dalam berbagai peristiwa penting di kawasan ini.
(Bersambung)