Di Beranda Istana Alhambra (19 – Silaturahim ke Takmir Masjid Granada)
Setelah selesai mengelilingi kompleks Istana Alhambra Aku bertanya ke Yasin: Saatnya Aku minum Capuchino sekarang ?”.
Y: “Jangan khawatir”, katanya santai.
A: “Jangan jauh-jauh, Aku tidak ingin buru-buru meninggalkan tempat ini”.
Y: “Ada”, kata Yasin sambil mengarahkan telunjuknya dan tetap berjalan santai.
Kami bertiga memasuki gerbang tua yang di atasnya bertuliskan : Parador de Granada Hotel. Bangunan luarnya berupa bangunan lama yang tetap dipertahankan, akan tetapi saat memasukinya di dalamnya nampak modern dan mewah. Kami menuruni tangga untuk menemukan Restorannya. Kami sempat ragu, beruntung seorang pelayan Hotel lewat, Yasin kemudian bertanya.
Kami diarahkan ke pintu belakang yang terbuka. Setelah melaluinya, di taman yang tertata asri, menyerupai taman-taman di dalam Alhambra, nampak Istana Alhambra terbentang tanpa halangan sama sekali, seolah bertengger di bukit menjulang dan hijau.
Sambil minum Capuchino Aku melanjutkan untuk menggoreskan penaku di atas kertas putih, mengikuti kata hati dan gelora yang mendominasi dada. Yasin dan Iqbal mengobrol berdua, seolah memberikan kesempatan kepadaku sepuasnya. Saat pelayanan datang, menawarkan tambahan pesanan, Aku minta kentang goreng atau orang Inggris menyebutnya Friend Fries. Setelah puas, kami bertiga lalu menuju Masjid dengan menggunakan mobil.
Saat tiba di gerbang masjid, seorang laki-laki asli Spanyol menyambut kami. Tingginya tidak beda jauh dengan tinggi badanku, akan tetapi jenggotnya lebat sekali.
Walaupun kalah pada jenggot, Aku menang di rambut. Pria plontos itu bernama : Umar del Pozo yang merupakan Ketua Yayasan Masjid satu-satunya di Granada. Dalam Bahasa Spanyol mereka menyebut masjid ini: Mezquit De Granada yang kalau diterjemahkan menjadi: Masjid Raya Granada.
Aku dan teman-teman belum shalat, karena itu Aku minta ijin untuk sholat terlebih dahulu, sebelum mengobrol atau diskusi. Aku lepas sepatu, dan kugunakan sendal yang sudah disiapkan untuk mengambil wudhu. Yasin dan Iqbal juga mengikuti langkahku. Aku didaulat oleh mereka untuk menjadi Imam.
Sebelum memulai, Aku berikan isyarat, sebagai musyafir Aku usulkan kita shalat Dzuhur dan Asyar dengan cara dijamak dan di-Qashar. Teman-teman tidak keberatan.
Sesudah Shalat, Kami bertiga diantar oleh Umar untuk diperkenalkan ke Ustad yang menjadi pembina dan guru mereka dalam masalah Islam. Dengan Bahasa Arab, Aku mengenalkan diri sebagai mahasiswa asal Indonesia.
Ia kemudian juga mengenalkan diri, dan mengenalkan Maroko sebagai asal negaranya. Setelah itu, Kami diantar ke ruangan yang disebutnya sebagai Museum, walaupun isinya cuma cerita tentang sejarah hadirnya kembali Islam di Granada, dan proses berdirinya Masjid yang kini mereka kelola.
Setelah itu Kami meninjau perpustakaan yang cukup luas, yang mengoleksi berbagai macam buku berbahasa Arab yang cukup banyak. Kemudian Kami diantar ke ruang serbaguna, yang digunakan untuk Ifthar di bulan Ramadhan, atau digunakan untuk tempat hajatan jika ada keluarga Muslim atau jamaah Masjid punya hajat.
Yang paling menarik bagiku dari tour singkat ini adalah, proses kembali hadirnya Islam di Granada.
Menurut Umar: ¨Prosesnya dimulai oleh seorang Muallaf asal Scotlandia bernama: Shaykh Abdelqadir Assufi, yang menemukan Islam sebagai jalan hidupnya setelah dalam pengembaraannya ia bertemu dengan guru sufinya di Afrika Utara Bernama: Shaykh Muhammad Ibn Al Habib”
A: “Tahun berapa Shaykh Abdelqadir datang ke Granada ?¨
U: “ Awal tahun 1970-an, kemudian komunitas Islam mulai terbentuk dan teregistrasi tahun 1980”.
A: “Apakah tidak mengalami hambatan ?”.
U: “Awalnya tidak, mereka bahkan sempat mengadakan shalat berjamaah di dalam Istana Alhambra. Akan tetapi, setelah itu, ada larangan untuk melaksanakan upacara keagamaan di kompleks Alhambra yang kini statusnya sebagai Museum”.
A: “Apakah larangan itu berlaku sampai sekarang ?”.
B: “Sebetulnya bukan larangan permanen, karena beberapa kali kegiatan keagamaan seperti shalat Idhul Fitri atau Idhul Adha dimungkinkan, asal diurus ijinnya jauh hari sebelumnya. Beberapa diskusi lintas agama juga pernah dilakukan, bahkan dengan sponsor Pemerintah setempat”.
A: “Kapan masjid ini mulai berdiri ?”
Baca juga :
- Putra TNI AU Electric dan DPUPR Petik Kemenangan Pertama
- Putri Bank Jatim dan Rajawali O2C Menangkan Laga Perdana
- Putri Bank Jatim dan PLN Awali Putaran Reguler Kedua di Bojonegoro
- Rayakan Ultah ke-35, IKBA 53-89 Kembali Gelar Gathering Event
- LavAni Buka Peluang, Perumda Petik Kemenangan Pertama
U: “Masjid ini mulai dibangun oleh warga setempat tahun 2003, proses pembangunannya tersendat-sendat karena dana yang terkumpul terbatas mengingat jumlah Umat Islam di sini tidak banyak. Proses pembangunanya mulai lancar, setelah Kami mendapatkan bantuan dari sejumlah tokoh Islam seperti: Muamar Khadafi dari Libia, Presiden Erdogan dari Turki, dan Sheikh Sultan Mohammed Al Qassimi dari Sharjah (UAE).
A: “Apakah dalam pengadaan tanahnya tidak mengalami hambatan ?”.
U: “Tidak mudah untuk mendapatkan tanah yang cukup luas. Tanah ini satu-satunya tanah yang Kami dapatkan. Kami beruntung karena lokasinya sangat strategis, di ketinggian yang dari halamannya Kita dapat melihat Alhambra secara leluasa. Dalam masalah perijinan, Kami tidak menemui hambatan yang berarti. Untuk melihat betapa strategisnya posisi Masjid ini, mari kita lihat dari atas menaranya”.
Kami lalu naik ke atas menara melalui anak tangga bertingkat dan melingkar. Setelah sampai di atas, Umar menunjukkan sejumlah menara bangunan yang ada di sekitarnya. Ada tiga atau empat Menara yang bentuknya mirip dengan menara masjid tempat Kami berdiri, kata Umar: “Semua Menara yang kita lihat itu adalah gereja. Dulu semuanya masjid”.
A: “Apa saja aktifitas jamaah masjid di sini ?”.
U: “Banyak, mulai Pendidikan agama untuk anak-anak, remaja, dan ibu-ibu, juga sering dilakukan pengajian umum tentang berbagai topik, seperti: ekonomi, politik, sosial, sain dan teknologi, termasuk kajian tentang perkembangan Islam di tingkat global. Selain itu, Kami juga punya program pengembangan pertanian dan berbagai bentuk pelatihan membuat handycraft para remajanya. Kami mempunya mimpi untuk menghadirkan kembali Islam yang Rahmatan lil Alamin di bumi Andalusis , sebagaimana yang pernah disumbangkan oleh para leluhur Kami.”
A: “Saya tertarik dengan komunitas Muslim yang menjadi jamaah masjid ini, tidak seperti kebanyakan masjid di Spanyol yang pernah saya kunjungi”.
U: “Maksudnya ?”, kelihatannya Umar tidak menangkap arah pertanyaanku.
A: “Mayoritas Takmir maupun jamaah masjid yang saya kunjungi didominasi oleh imigran”.
U: “Zaman kejayaan Islam di Andalusia tempo dulu, ummat Islam meskipun sama dalam hak dan kewajibannya, akan tetapi pengelompokkan tidak terhindarkan yang dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk ekonomi, politik, dan budaya. Paling tidak ada tiga kelompok besar waktu itu: Pertama, yang beretnis Arab, mereka menguasai pemerintahan, kemudian Berber yang berasal dari suku-suku di Afrika Utara, mereka banyak yang jadi tentara, kemudian Muallad seperti kami ini, yaitu orang asli Spanyol yang memeluk Islam.
Sebetulnya ada satu lagi kalau mau ditambahkan, yaitu percampuran atau asimilasi antara Arab dan Berber yang dikenal dengan istilah: “Moor” atau “Moro” yang kemudian juga digunakan untuk menyebut Ummat Islam di Philipina oleh Spanyol. Kami di sini sebenarnya tidak eksklusif hanya untuk Muallad, akan tetapi secara alamiah memang penduduk di sini dari kamunitas Muallad. Imam yang mengajar Islam di sini adalah Orang Arab berasal dari Maroko”.
Y: “Maaf sudah waktunya makan siang”, kata Yasin sambil menunjukkan jam yang menempel di tangannya.
Kami lalu diajak menuju Restoran yang berada di halaman masjid, walaupun tidak besar akan tetapi sangat bersih dan menyediakan berbagai macam masakan yang terlihat dari daftar menunya yang sangat beragam, membuat Aku sulit untuk memilihnya.
A: “Syai’ sahinbi nekna”, kataku dengan menggunakan Bahasa Arab kepada pelayannya seorang pemuda asal Tunisia, yang maksudnya teh panas dengan daun min yang juga dikenal sebagai teh Maroko. Untuk menu makannya, Aku minta Iqbal yang memilihkan dan disajikan untuk bisa dicicipi bersama. Karena itu, disamping pesanan beragam juga agar disediakan empat piring kosong, sambil mengatakan: “Ini ala Indonesia, tolong Yasin sampaikan ke Umar”, kataku sambil tersenyum.
Yasin kemudian menyampaikan maksudku kepada Umar dengan menggunakan Bahasa Spanyol, yang membuat Umar tertawa geli mendengarnya. Mungkin saja hal itu tidak lazim bagi orang Spanyol. Saat hidangan disajikan, sesuai pesanan Iqbal: kambing bakar ala Maroko, kare kambing ala Pakistan, ikan bakar, dan sejumlah sayuran.
“Ini semuanya halal, sebelum Kami buat restoran ini, sulit sekali mendapatkan makanan halal di sini. Akan tetapi sekarang sudah ada beberapa restoran halal di kota Granada”, kata Umar sambil memulai makan siangnya secara bersama-sama.
(Bersambung)