Kisruh Tata Negara Indonesia Bermula Saat Amandemen Konstitusi Tahun 1999-2002
JakCityNews (Surabaya) – Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengatakan sistem bernegara Indonesia saat ini telah berubah total. Hal itu bermula dari proses amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 1999 hingga 2002 sehingga membuat konstitusi Indonesia meninggalkan Pancasila sebagai identitasnya.
Hal tersebut disampaikan LaNyalla saat menjadi Keynote Speech di acara Focus Group Discussion ‘Membedah Proposal Kenegaraan DPD RI Menyempurnakan dan Memperkuat Sistem Bernegara Sesuai Rumusan Pendiri Bangsa’ di Universitas Wijaya Putra, Surabaya, Jawa Timur, Senin (27/11/2023).
LaNyalla mengatakan, awal terjadi gerakan reformasi yang saat itu dimotori mahasiswa dan dipicu krisis moneter dan puncak penolakan terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto yang dianggap otoriter dan menyuburkan KKN di sekitar keluarga dan orang dekatnya.
Karena itu, tuntutan reformasi saat itu adalah turunkan dan adili Soeharto beserta kroninya, batasi masa jabatan presiden, hapus praktik KKN dan penegakan hukum, serta cabut dwi fungsi ABRI.
“Tuntutan tersebut wajar, karena Orde Baru melakukan praktik penyimpangan terhadap sistem bernegara yang dirumuskan para pendiri bangsa,” kata LaNyalla.
Tetapi, satu tahun setelah Reformasi, mulai terjadi perubahan sistem ketatanegaraan. Yang terjadi adalah penggantian konstitusi Indonesia. Bukan pembenahan atas praktik penyimpangan Orde Baru, tetapi justru mengganti sistem bernegara Indonesia dari Sistem Pancasila yang dirumuskan pendiri bangsa menjadi mengadopsi sistem barat yang liberal dan individualistik.
“Inilah yang terjadi di dalam proses Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan di tahun 1999 hingga 2002 yang lalu,” katanya.
Akibatnya, sejak tahun 2004 hingga hari ini, sistem bernegara Indonesia telah berubah total. Kedaulatan rakyat tidak lagi dijelmakan di dalam lembaga tertinggi negara. Melainkan berpindah menjadi kedaulatan partai politik dan kedaulatan presiden terpilih yang dipilih melalui pemilu dan pilpres Langsung.
“Lembaga tertinggi negara dibubarkan. Tidak ada lagi utusan golongan dan utusan daerah. Tidak ada lagi haluan negara, karena Presiden terpilih sebagai eksekutif dapat membuat kebijakan apapun, selama mendapat dukungan dari partai politik,” kata LaNyalla.(gsu)