Pansus Cipta Kerja DPD RI Serap Masukan Dari Pakar

JakCityNews (Jakarta) – Panitia Khsusus (Pansus) Cipta Kerja DPD RI meminta masukan dari para pakar terkait pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Dalam hal ini, Pansus Cipta Kerja DPD RI hanya akan fokus pada amar putusan poin 3, 4, 5, 6, dan 7 saja.

“Pastinya UU Cipta Kerja ini cacat formil sehinga berdampak kemana-mana. Namun kami tidak membahas sembilan poin amar putusan MK, kami hanya fokus pada poin 3, 4, 5, 6, dan 7 saja,” ucap Anggota Pansus Cipta Kerja DPD RI Alirman Sori saat RDPU secara kombinasi fisik dan virtual di Gedung DPD RI, Jakarta, Rabu (2/2/2022).

Alirman menambahkan,  mekanisme perubahan yang dilakuan terhadap UU Cipta Kerja perlu diantisipasi. Dalam hal ini pihaknya mencatat,  persoalan ini tidak hanya mengenai formil pelaksanaan pembentukannya tetapi tentang materi yang sulit diterapkan di daerah.

“Contohnya tentang pelaksanaan perizinan berusaha yang secara struktural ditarik kembali menjadi kewenangan Pemerintah Pusat,” paparnya.

Senator asal Sumatera Barat itu menjelaskan,  dalam rapat pembahasan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2022,  telah disepakati , perubahan terhadap UU Cipta Kerja akan dilaksanakan melalui mekanisme komulatif terbuka yakni akibat dari adanya Putusan MK.

Baca juga :

“Hal ini tentunya perlu untuk disikapi secara cermat dan hati-hati oleh DPD RI secara kelembagaan,” tuturnya.

Secara virtual, Direktur ICLD Fitriani Ahlan Sjarif mengatakan,  kondisi di daerah pasca putusan MK telah mengundang perdebatan. Putusan ini menginstruksikan  tidak boleh membentuk peraturan pelaksanaan dalam kebijakan strategis dan berdampak luas.

“Dampaknya banyak draft peraturan yang sudah ditinggal ditetapkan  terhenti, dapat  diduga adanya kekosongan hukum terjadi. Seharusnya pemerintah tidak boleh berhenti,” tuturnya.

Sementara itu, Guru Besar IPDN Djohermansyah Djohan menambahkan dampak putusan MK berpengaruh kepada otonomi daerah dan pembangunan derah. Lantaran putusan MK ini menyangkut keadilan dan pelayanan publik yang menyebabkan kendala di daerah.

Sedangkan Mantan Hakim Maruarar Siahaan mengatakan,  Putusan MK mengundang kontroversi karena pernyataan masih memberlakukan UU selama dua tahun sebelum persyaratan jatuh tempo.(Bag)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.