Di Beranda Istana Alhambra (16 – Bersujud di Masjid Cordoba)
Kejayaan Bani Umayyah di Andalusia dimulai setelah Tariq bin Jiyad sebagai Panglima dan pasukannya berhasil mengalahkan Kerajaan Visigoth yang dipimpin oleh seorang Raja bernama Roderic pada 711 M. Saat itu Tariq menjabat Gubernur pada wilayah Tangier di ujung Barat Laut Afrika yang kini menjadi bagian dari Kerajaan Maroko, yang pelabuhannya berseberangan dengan Iberia sebutan untuk wilayah Eropa Barat Daya yang kini dikenal dengan Spanyol dan Portugal.
Roderic mengendalikan wilyah kekuasaannya dari Kota Toledo. Ia merupakan keturunan Bangsa Visigoth, yang bukan orang Spanyol asli, akan tetapi sebuah bangsa keturunan Jerman yang sempat berkuasa di sebagian wilayah Eropa. Karena itu, banyak sejarawan menempatkannya sebagai penguasa asing yang menduduki wilayah Iberia. Setelah mengalami kekalahan dari Romawi, kekuasaan Visigoth yang tersisa hanya di Iberia.
Pasukan Tariq berhadapan dengan Pasukan Roderic dalam perang yang sangat menentukan di dekat Sungai Guadalete. Keberhasilan Tariq dan pasukannya kemudian disempurnakan oleh Musa bin Nusyair, yang saat itu menjabat Gubernur Kawasan Afrika Utara yang menjadi bagian dari Dinasti Bani Umayyah. Musa mengendalikan wilayah kekuasaannya dari Kairouan, yang kini masuk wilayah Tunisia.
Saat Bani Umayyah runtuh dikalahkan oleh Bani Abbasiah tahun 750 M, yang kemudian memindahkan ibukotanya dari Damaskus ke Bagdad, seluruh keluarga Bani Umayyah dibunuh. Hanya Abdurrahman yang selamat, karena pada saat pembantaian dilakukan ia sedang sakit, sehingga tidak berada dalam rombongan keluarga.
Abdurrahman adalah salah seorang Keponakan dari Marwan II ibn Muhammad yang merupakan Khalifah terakhir Bani Umayyah, yang ikut terbunuh saat peralihan kekuasaan ke Bani Abbasiyah. Waktu itu Abdurrahman masih berusia 19 tahun, karena merasa nyawanya terancam kemudian melarikan diri menuju Andalusia, sebutan Iberia bagi bangsa Arab yang berarti wilayah baru.
Ada dua alasan mengapa ia memilih Andalusia: Pertama, karena Andalusia masih dikuasai oleh para pengikut Bani Umayyah dan para pejabatnya diangkat oleh keluarganya. Kedua, wilayah ini secara geografis sangat jauh dari Bagdad, dimana musuhnya berkuasa, sehinga keberadaannya akan sulit dijangkau.
Dalam pelariannya Abdurrahman terus dikejar oleh pasukan Abbasiyah. Ia melewati kota-kota dengan cara menyamar untuk menghindari para Penguasa setempat yang menjadi loyalis Abbasiyah, dan melewati padang pasir, serta melawan teriknya panas matahari sepanjang perjalanannya, dengan hanya ditemani seorang penunjuk jalan yang menjadi saksi kegigihannya. Berkali-kali dirinya menghadapi situasi antara hidup dan mati melawan ganasnya alam.
Saat tiba di wilayah paling ujung benua Afrika yang bernama Maroko saat ini, ia menemui keluarga ibunya yang menyambut kedatangannya dengan sangat antusias. Ia kemudian diberitahu bahwa Penguasa di Andalusia saat ini sudah menyatakan diri independen dan tidak lagi menjadi bagian dari Dinasti Umayyah. Karena itu, dirinya diingatkan untuk berhati-hati, karena kehadirannya bisa dilihat sebagai ancaman terhadap penguasa setempat.
Mendengar informasi ini, Abdurrahman kemudian mulai mengumpulkan para loyalisnya di Maroko, dan dengan pasukan kecil ia menyebrang ke Andalusia. Ia mengirim utusan ke sejumlah penguasa setempat, dan pada saat bersamaan ia bersembunyi. Hasil diplomasi ini memberikan peta detail siapa-siapa yang bisa diajak berkolaborasi dan siapa yang tidak, serta siapa yang tidak termasuk kategori keduanya.
Selain itu, Abdurrahman juga mengetahui persaingan diantara para penguasa yang ada. Ia kemudian mengawali kolaborasinya dengan para penguasa yang bersedia menerimanya. Selanjutnya ia melancarkan perang dan diplomasi secara bersamaan. Setelah berjuang selama lima tahun, ia berhasil menaklukan dan menyatukan seluruh wilayah warisan leluhurnya. Ia memilih Cordoba sebagai ibukota untuk mengendalikan wilayah kekuasaannya yang sangat luas.
Mendengar kisah yang rinci seperti ini, membuat Aku semakin kagum dengan pengetahuan yang dimiliki Iqbal, meskipun sebelumnya Aku sudah mengetahui ia sedang menyelesaikan studi S3-nya tentang sejarah Andalusia. Aku kemudian mencoba menggali lebih jauh dengan mengajukan pertanyaan: “Saat itu apakah Abdurrahman mendeklarasikan diri sebagai pelanjut Dinasti Umayyah yang mengendalikan wilayah ini sebelumnya dari Damaskus ?”
Q: “Tidak”, kata Iqbal.
A: “Mengapa ?”.
Q: “Ia menghormati Dinasti Abbasiyah di Bagdad, walaupun pasti dirinya tidak menyukai bahkan membencinya”.
A:”Apakah hanya itu ?”, saat naluri sebagai ilmuwan politik muncul pada diri Ku. Aku berfikir pasti ada dimensi politik yang lebih penting, dibanding pertimbangan moral atau keinginan menjaga persatuan Ummat Islam sebagaimana anggapan Iqbal.
Q: “Jika kita mau berspekulasi, maka dengan menyebut dirinya sebagai Emir yang memimpin sebuah wilayah yang disebut Emiret atau Imarah, maka itu akan lebih aman, karena tidak mengundang kemarahan penguasa di Bagdad. Selain itu, juga menghindar dari lawan-lawan politiknya untuk berkolaborasi dengan penguasa di Bagdad. Pada saat bersamaan, ia merangkul seluruh lawan-lawannya untuk diajak bersama-sama membangun kembali Andalusia”.
A:”Ini jawaban politik yang Aku tunggu”, komentarku puas. Pada saat bersamaan fikiranku menyimpulkan disinilah rahasia kehebatan Abdurrahman. Ia memaafkan, kemudian merangkul, dan memberikan harapan kembali kepada bekas lawan-lawannya. Para politisi dan para pemimpin seharusnya mengambil pelajaran dari Abdurrahman yang kemudaian mendapatkan gelar “Ad Dakhil” yang arti harfiahnya “Orang yang masuk” ke Andalusia.
Banyak prestasi yang ditorehkan oleh Abdurrahman yang mengendalikan negara selama 32 tahun. Kegemilangannya diteruskan oleh anak cucunya sampai beberapa generasi. Diantara peninggalannya yang masih bisa dilihat sampai sekarang adalah Istananya yang disebut Alcazar dan Masjid Cordoba.
Alcazar sangat luas, dikelilingi benteng yang tinggi dan kokoh, dengan taman-tamannya yang dilengkapi dengan kolam dan air mancur, sehingga nampak indah dan asri. Tapi yang lebih menawan bagi para turis yang datang ke Cordoba adalah bekas masjidnya yang sangat indah.
Masjid Cordoba awalnya berupa Kuil kaum pagan. Saat Kristen memasuki wilayah ini kemudian diubah menjadi Gereja. Saat Islam masuk, fungsinya sebagai rumah ibadah digunakan secara bersama. Hari Ahad untuk penganut Nasrani, sedangkan hari Jum’at untuk Ummat Islam. Pada hari-hari biasa dipilah dua. Karena itu nama resminya dalam Bahasa Spanyol: Mezquita-Catedral de Cordoba, yang arti harfiahnya: Masjid-Katedral, yang masih dipertahankan sampai sekarang.
Saat mendirikan masjid di tempat ini Ummat Islam membeli tanah di sebelah Katedral ini dari Kaum Nasrani. Kini Masjid Cordoba statusnya sudah berubah menjadi Museum yang di dalamnya terdapat katedral dan banyak kapel yang berafiliasi pada kelompok-kelompok peribadatan yang berbeda di dalam agama Kristen. Katedral dan kapel masih difungsikan sampai sekarang.
Arsitektur Masjid Cordoba sangat indah sekaligus unik, karena ia berbeda dengan berbagai arsitektur Islam yang berasal dari Turki, Persia, India, maupun sejumlah negara Arab. Warna merah yang dikombinasi dengan putih, dengan lengkungan Mihrabnya yang khas. Bentuk lengkungan ini juga digunakan sebagai lengkungan pintu-pintunya menampilkan keindahan yang tiada tara. Pilar-pilar penopang atap masjid dibuat dengan lengkungan bertingkat dengan bentuknya yang unik dan bervariasi.
Sejumlah pengamat arsitektur Islam sampai berani mengatakan bahwa masjid ini merupakan salah satu masjid terindah di dunia yang pernah dibuat. Bagian-bagiannya kini diadopsi untuk mempercantik Masjidil Haram di Makah dan Masjid Nabawi di Madinah saat diperluas dan ditambah bangunan baru.
Berkali-kali Aku berdecak kagum saat berada di dalamnya. Masjid ini luas sekali, ditopang tidak kurang dari 1293 tiang penyangga, dengan panjang 115 meter dan lebar 70 meter, konon pernah menjadi masjid terbesar di dunia yang mengalahkan Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah.
Masjid ini bisa menampung sampai sepuluh ribu jamaah. Lantainya yang naik turun tidak rata dan dengan bahan yang berbeda-beda, membuktikan bahwa masjid ini dibangun berpuluh tahun dan melintasi generasi, dengan penguasa yang berganti-ganti yang mengendalikan Andalusia dari Cordoba. Konon masjid ini hanya satu dari enam ratus masjid di Cordoba saat itu.
Menaranya kini dimodifikasi dan berubah fungsi yang semula untuk mengumandangkan Azan kemudian menjadai menara lonceng. Sebagian besar dekorasinya sudah dimodifikasi, sehingga citra Arab atau Islamnya sulit terlihat, kecuali bagi para pemerhati yang jeli. Menaranya terpisah dari bangunan utama masjid yang dilengkapi dengan taman yang cukup luas yang berada di dalam dinding tinggi dan kokoh yang mengitarinya.
Ingin sekali Aku menunaikan shalat di tempat bersejarah ini, akan tetapi Aku sangat hati-hati, karena tidak ingin mengusik suasana damai yang sudah terpelihara.
A: Aku lalu bertanya: “Apakah pernah ada yang melaksanakan shalat di sini ?”.
Q: “Pernah”, jawab Iqbal singkat.
A: “Kalau begitu Aku boleh melaksanakannya?”.
Q: “Untuk shalat di sini perlu ijin khusus, keinginanmu ditunda dulu, nanti saat Interfaith Dialog diadakan kita buat permohonan agar peserta yang Muslim dapat melaksanakan shalat di tempat bersejarah ini.”
A: “Lalu dimana kita akan shalat ?”.
Q: ”Kalau mau Shalat di Masjid saja, nanti kita sekalian Shalat Zuhur dan Ashar dengan dijamak”.
Baca juga :
- Mendikdasmen Diminta Tak Gegabah Terapkan Kembali UN dan Hapus Sistem Zonasi
- DPR Setujui Naturalisasi Tiga Atlet Sepak Bola
- Kevin Diks Disetujui Naturalusasi, Fraksi Gerindra Komisi X DPR Berikan Catatan
- Komisi XIII DPR Setujui Permohonan Pertimbangan Naturalisasi Kevin Diks, Noa Leatomu, dan Estella Loupattij
- Komisi X DPR Setujui Proses Naturalisasi Kevin Diks, Noa Johanna san Estelle
Setelah puas mengelilinginya Kami bergerak melalui pintu keluar, lalu berbelok ke Kanan. Iqbal berjalan di depan dan Aku mengikutinya. Terlihat petunjuk bertuliskan “Mezquita” yang berarti masjid dalam Bahasa Spanyol. Setelah belok dua kali Kami sampai di jalan yang cukup sempit, terlihat dari luar masjid bernama Mezquita de los Andaluces yang dilengkapi dengan Menara.
Saat berada di dalamnya, walaupun masjid ini sangat kecil akan tetapi Aku merasa sangat lega karena eksistensinya diakui masyarakat dan tentu negara. Setelah shalat berjamaah selesai, aku berdoa semoga kedamaian terus terpelihara di negri ini. Hubungan harmonis antar kelompok masyarakat, apapun etnis dan agamanya perlu tetap dijaga, sehingga Pemerintah mudah mengambil kebijakan dan tetap berfungsi melindungi seluruh rakyatnya.
Kami lalu makan siang di restoran Halal bernama: Casa Curtubah. Saat menunggu makanan dihidangkan, Aku bertanya pada Iqbal sekaligus untuk mengkonfirmasi spikulasiku: “Kalau dilihat dari pengumuman yang tertempel di pinngir jalan, dan keberadaan Menara masjid yang mencolok, berarti masyarakat maupun pemerintah dapat menerima kehadiran ummat Islam di sini sebagai bagian dari mereka”.
Q: “Pasti. Di sini semua hal terkait dengan kepentingan publik diatur secara rigit dan formal. Karena itu mustahil keberadaan masjid tempat kita shalat tadi kalau tidak memiliki ijin.”
Dalam perjalanan pulang, Aku terus berfikir betapa hebatnya Abdurrahman Addakhil yang tidak hanya berhasil mempersatukan seluruh wilayah Andalusia warisan leluhurnya, ia juga kemudian mengenalkan peradaban Islam yang sangat membanggakan kepada dunia Barat, dan mengajari Barat berbagai ilmu modern yang kemudian mengantarkannya memasuki era baru yang dikenal dengan Renaissance, sehingga kemudian menguasai dunia sampai sekarang.
Rintisan Abdurrahman dilanjutkan oleh anak-cucunya dengan menjadikan Andalusia sebagai jembatan antara Dunia Islam dengan Barat. Kemajuan ilmu pengetahuan, sain dan teknologi, ilmu kedokteran dan seni musik yang dicapai Bagdad, khususnya setelah Harun Al Rasyid menjadi Khalifah diperkenalkan melalui Andalusia.
Buku-buku yang diterbitkan di Bagdad diduplikasi, lalu dikirim dan dipelajari di berbagai perguruan dan perpustakaan di Andalusia. Dimana perpustakaan milik Istana saja, memiliki koleksi sekitar empat ratus ribu judul buku. Di Cordoba saja terdapat lebih dari tujuh puluh perpustakaan, bisa dibayangkan berapa banyak perpustakaan dan berapa banyak buku di seluruh Andalusia. Pada saat itu, Andalusia menjalin hubungan ekonomi dan politik, ditandai dengan pertukaran duta besar dengan Bizantium yang merupakan kerajaan terkuat Kristen di Eropa.
Para mahasiswa dari berbagai negara di Eropa ikut belajar di sini. Salah seorang tokoh dari mahasiswa yang menimba ilmu di sini adalah Michael Scot yang berasal dari Italia. Ia menterjemahkan karya-karya Ibnu Shina, Ibnu Rush, dan Al Bitruji dari Bahasa Arab kedalam Bahasa yang dikenal masyarakatnya.
Selain Michael Scot, tokoh lain yang juga disebut sejumlah sejarawan sangat dipengaruhi para pemikir muslim yang kemudian mendorong lahirnya Renaisance adalah Thomas Aquinas. Tentu banyak lagi para pemikir abad pertengahan pada generasi berikutnya yang menjadi pelita di Barat, seperti: Michelangelol, Marthin Luther, Leonardo da Vinci, Copernicus, dll.
Pemikiran tokoh-tokoh ini, terutama Ibnu Rush yang di Barat dikenal dengan Averroes mendorong liberalisme pemikiran yang kemudian mendorong lahirnya Protestan melawan otoritarianisme yang dibangun oleh kolaborasi Gereja dan Raja, yang menjadi simbol hegemoni kekuatan agama dan politik di Eropa waktu itu.
Fakta-fakta ini menjelaskan mengapa Renaisance berawal dari Italia, yang kemudian berkembang ke Jerman, Perancis, Inggris, dan negara-negara Eropa lain.
(Bersambung)