Di Beranda Istana Alhambra (17 – Menangis di Madinah Azzahra)

Madinah Azzahra
Posted by Dr. Muhammad Najib

Madinah Azzahra ditulis di Museumnya sebagai ”Madina Azahara”, berasal dari bahasa Arab yang berarti “Kota Mawar”. Nama Azzahra konon berasal dari selir Sang Khalifah yang paling disayanginya.

Meskipun disebut “kota”, sebenarnya kompleks ini merupakan istana yang dibangun oleh Abdurrahman III yang berkuasa sejak 912  M s/d 961 M, yang merupakan cicit dari Abdurrahman I yang lebih dikenal dengan nama Abdurrahman Ad Dakhil. Kalau dihitung sebagai penguasa, maka ia merupakan penguasa ke-8 dari Dinasti Umayyah di Andalusia.

Pembangunannya dilakukan selama sepuluh tahun, lalu disempurnakan secara terus-menerus selama tiga puluh tahun.

Kompleks Istana ini dibangun sebagai bentuk simbolik dari keputusan politik Abdurrahman III saat ia mendeklarasikan diri sebagai Khalifah dari Khilafah Islam di Andalusia pada tahun 929 M.

Apa yang dilakukan Dinasti Umayyah ini sebagai bentuk respon berdirinya Dinasti Fatimiah di Kawasan Afrika Utara yang kemudian mendeklarasikan diri sebagai Khilafah Islamiah. Padahal pada saat yang sama masih berdiri dinasti Abbasyiah yang mengendalikan kekuasaan dari Bagdad, yang juga mengklaim sebagai Khilafah Islamiah.

Dengan demikian, saat itu ada tiga dinasti yang hidup bersamaan yang semuanya mengklaim sebagai Khilafah Islamiah.

Alcazar Cordoba.

Madinat Azzahra berada hanya sekitar 5 Km di Timur Kota Cordoba. Dari Kota Cordoba hanya memerlukan waktu sekitar lima belas menit saja dengan kendaraan mobil.

Di lokasi ini terdapat museum yang harus dikunjungi sebelum kita melihat reruntuhan kota yang sangat modern dan indah pada masa kejayaannya.

Di museum ini yang paling menarik sebenarnya adalah film pendek yang diputar sebagai bagian dari ritual bagi turis-turis yang datang untuk memulai peninjauan lapangan.

Film ini menggambarkan bangunan secara keseluruhan dan berbagai bagiannya yang memiliki fungsi-fungsi tersendiri.

Film ini menceritakan kehidupan keluarga istana, proses-proses diplomasi, termasuk bagaimana prosesi Khlaifah menerima para duta besar yang mengunjunginya untuk menyampaikan pesan dari kerajaan yang diwakilinya.

Juga bagaimana Khalifah menginspeksi pasukan, kemudian memberikan pesan sebelum berangkat ke medan perang.

Setelah menyaksikan film, pengunjung akan melewati ruangan-ruangan yang menceritakan sejarah dan berbagai artefak berupa potongan-potongan tiang, dinding, dan berbagai peralatan perang yang digunakan. Setelah selesai, sebuah Bus sudah menanti kita untuk diantar ke lokasi bekas Istana yang sebagian besar telah luluh-lantak.

Hanya tersisa gerbangnya dan beberapa bagian tembok yang sudah porak-poranda.

Berada di dataran tinggi, yang dari posisinya terlihat mebentang Kota Cordoba, sementara di belakangnya menjulang bukit yang sangat tinggi yang secara alamai melindungi istana ini dari kemungkinan diserang musuh dari belakang. Sementara dari jendela Istana nampak lembah yang hijau membentang secara terbuka.

Sungguh pertimbangan keamanan dan keindahan yang dilakukannya secara cermat saat memilih lokasi ini, fikirku dalam hati.

Arsitektur dasarnya sama dengan masjid Cordoba yang masih utuh sampai sekarang dan dirawat oleh mereka yang berbeda agama.

Bentuk lengkungannya  berupa lingkaran terbuka hanya dua puluh lima persennya di bagian bawah, lalu disangga oleh dua pilar ramping. Bentuk seperti ini sangat unik dan tidak ditemui di arsitektur Persia, India, atau di berbagai negara Arab dari Bagdad, Kairo, dan Damaskus yang menjadi simbol-simbol kemajuan peradaban Islam di masa lalu.

Bangunan yang sangat indah sebagai bagian dari buah peradaban yang dibangun oleh umat Islam kemudian dihancurkan oleh ummat Islam sendiri, karena ambisi kekuasaan, dendam politik, persaingan kelompok, yang semuanya dibungkus seolah-olah dilakukan demi Islam.

Kenyataan yang memilukan sekaligus memalukan seperti  ini, terus dilakukan dan diulang generasi demi generasi oleh berbagai kelompok politik yang berebut kekuasaan sampai sekarang.

Istana ini dihancurkan jauh hari setelah Abdurrahman III meninggal dunia dalam masa yang dikenal dengan “Fitnah”, setelah tidak ada pemerintahan yang kuat, dimana kelompok-kelompok kecil yang dikenal dengan istilah “Taifah” saling bersaing berebut kekuasaan.

Kelompok yang menghancurkannya konon dari komunitas Muslim Berber dalam perang sipil yang terjadi antara tahun 1010 M s/d 1013 M.

Taifah-taifah muncul dengan berbagai motifasi yang berbeda-beda, ada faktor keturunan seperti mereka yang mewarisi darah Bani Umayyah dan non-Bani Umayyah  meskipun sama-sama berdarah Arab, ada lagi yang berasal dari Suku Berber yang berasal dari Afrika Utara, mereka juga terpecah karena faham keagamaan yang berbeda, ada lagi dari kelompok Islam yang berdarah Eropa.

Selain masalah keturunan dan etnis,  afiliasi politik, bahkan dendam politik, ikut menjadi alasan terbentuknya taifah-taifah yang jumlahnya paling tidak ada sembilan.

Pada periode ini bukan hanya Istana Azzahra yang dihancurkan, juga Istana Azzahira yang dibangun oleh Almansur, penguasa de facto di Andalusia pada masanya.

Tampaknya Al Mansur sengaja memilih nama Azzahira yang mirip dengan Azzahra, untuk menunjukkan bahwa Istananya tidak kalah hebat dengan Azzahra. Azzahira sampai sekarang belum ditemukan dimana posisi sebenarnya.

Perusakan istana-istana ini sangat disesali oleh para sejarawan. Padahal dalam Islam jelas mengatur berbagai larangan dalam perang seperti: Larangan mebunuh perempuan, orang tua, anak-anak, rumah ibadah, dan pemimpin agama. Juga larangan membunuh hewan, merusak tanaman, dan larangan mencemari alam, serta merusak lingkungan secara umum.

Baca juga :

Saat ini bukan saja banyak ketentuan tersebut dilanggar, bahkan dilakukan dengan diiringi teriakan “Allhu Akbar !…..Allahu Akbar!…Allahu Akbar!”, seakan mereka telah melakukan jihad fi sabilillah. Madinah Azzahrah kini nampak bagai tugu yang bercerita tentang perang saudara, dendam, dan kebengisan.

Oh mengapa hati mereka membeku dan membatu, mengapa mereka tidak mempertimbangkan akibat perbuatannya yang sampai kini masih terasa perihnya. Periode ini boleh dikatakan awal dari lenyapnya Andalusia dari muka bumi.

Karena perang saudara periode ini bermuara pada lepasnya Cordoba pada tahun 1236 M ke tangan Penguasa Kristen untuk selamanya, yang dapat diibaratkan bagai lepasnya ruh atau cahaya Islam dari Andalusia.

Seandainya ruh-ruh mereka yang terkubur di tanah ini mengikuti perjalanan sejarah, tentu mereka tidak akan tenang di alam sana.

Kini Aku seakan mendapatkan bisikan dari ruh-ruh yang masih bergentayangan untuk menyampaikan pesan kepada mereka yang punya hati, rasa, dan cinta, untuk mengambil pelajaran dari Madinah Azzahra dan Madinah Azzahira.

Mataku terus meleleh, tidak kuasa membendung air mata yang mengalir deras menggenangi pipiku, saat menatap onggokan puing-puing yang sudah tidak berbentuk lagi, sebagai saksi kebengisan, keserakahan, dan ambisi duniawi.

Untung Aku memakai masker sehingga wajahku tidak terlihat oleh Iqbal. Berkali-kali Aku memalingkan muka saat mengusapnya denga saputangan. Iqbal curiga, dan bertanya: “Apa ada masalah ?”, karena mengira Aku terkena flu atau kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh dari Madrid. “Aku hanya mengusap hidung yang terasa berair, mungkin karena pengaruh udara dingin”, jawabku.

Bagi para pendukung gagasan khilafah seharus mengerti dan melihat pengalaman sejarah ini sebagai pelajaran yang sangat berharga, bahwa di balik gagasan itu dapat mengundang perpecahan dan bencana yang yang mengancam ummat Islam sendiri, saudara mereka, keluarga mereka, dan keturunan mereka.

Jika merujuk pada sumber-sumber yang otentik, termasuk Al Qur’an dan Hadits, jelas sekali bentuk negara tidak diatur. Dengan kata lain, ia sangat fleksibel mengikuti ruang dan waktu, sesuai perkembangan zaman, sejalan dengan kemajuan sain dan teknologi, Yang banyak ditekankan dalam sejumlah ayat maupun Hadits adalah tujuan bermasyarakat termasuk bernegara, bagaimana kita  mencapai Baldatun Tayyibatun Warabbun Gafur.

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.