Ketua Banggar : RAPBN 2025 Disiapkan Hadapi Tantangan
JakCityNews (Jakarta) – Pemerintah tengah mempersiapkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025. Dalam pembahasan bersama DPR, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah, menekankan pentingnya sikap antisipatif dalam menghadapi sejumlah indikator sektor keuangan yang menunjukkan tren kurang baik.
Seperti Nilai Tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terus naik sejak dua tahun terakhir. Dari sekitar Rp14.000/dolar AS pada tahun 2022, meningkat menjadi Rp14.500-15.000/dolar AS pada tahun 2023, dan mencapai Rp15.400-16.400/dolar AS pada semester 1 tahun 2024.
Kemudian, Kinerja saham di bursa menunjukkan tren penurunan pada kuartal II 2024 dibandingkan dengan kuartal I 2024. Pada April 2024, IHSG berada di level 7.200, namun terus turun hingga mencapai 6.728 pada 19 Juni 2024, menjadikannya pasar saham terburuk kelima setelah Qatar, Meksiko, Brazil, dan Thailand.
Yield SBN 10 tahun, lanjut Said menjelaskan meningkat dari 6,4 persen pada akhir 2023 menjadi 7,2 persen pada 20 Juni 2024. “Minat investor asing terhadap SBN terus menurun sejak pandemi COVID-19 melanda Indonesia, dari 38 persen sebelum pandemi menjadi 14 persen pada Mei 2024, ” ujar Said melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (24/6/2024),
Ia juga menyoroti, current accont yang terus mengalami defisit. Sejak kuartal II 2023 hingga kuartal I 2024, current account terus mengalami defisit, setelah sebelumnya surplus dari kuartal III 2021 hingga kuartal I 2023. Defisit current account pada kuartal I 2024 mencapai 2,2 miliar dolar AS.
Terakhir, pertumbuhan Foreign Direct Investment (FDI) pada kuartal I 2024 sebesar 15 persen, namun menurutnya ini tidak secemerlang periode sebelumnya. Pada kuartal III 2022, FDI tumbuh fantastis hingga 63,6 persen, namun kemudian menurun secara perlahan.
Said Abdullah mengatakan menurunnya minat investor asing terhadap sektor keuangan Indonesia disebabkan oleh sentimen peningkatan yield surat utang di Amerika Serikat dan tren suku bunga tinggi di sejumlah bank sentral negara maju.
“Akibatnya, kebutuhan likuiditas pemerintah dan pelaku usaha akan menjadi sangat kompetitif dan berbiaya mahal, ” ujarnya. (gsu)