Di Beranda Istana Alhambra (12 – Berdialog dengan Minoritas Muslim Segovia)
JakCityNews (Spanyol) – Segovia merupakan daerah otonom Castilla y León, berada sekitar 90 Km ke arah Barat Laut ibukota Spanyol, Madrid, yang bisa ditempuh dengan waktu kurang dari satu jam, karena sudah terhubung dengan jalan bebas hambatan yang sangat mulus. Kota ini menjadi tujuan wisata yang menawarkan warisa Romawi.
Istana, benteng, dan saluran air kuno yang dibangun dengan arsitektur dan teknologi yang dikuasainya saat itu. Sampai sekarang semua warisan Romawi ini masih terawat baik, sehingga dapat dinikmati oleh para turis yang mengunjunginya.
Aku ditemani Iqbal yang berperan sebagai guide menyusuri bagian dari kota tuanya menyusuri jalan-jalannya yang sempit diantara para turis lokal dan turis asing lain yang datang dari berbagai negara.
Udara dingin sekitar sepuluh derajat Celsius, dengan matahari yang lembut, dan dengan langit birunya yang cerah, membuat kami saat menelusuri jalan-jalannya terasa sangat nyaman.
Dari ketinggian bekas iatananya yang dikelilingi benteng berupa tembok tebal yang tinggi dan dari pojok menaranya yang dahulu digunakan sebagai tempat untuk memantau keadaan sekeliling, terlihat kota Segovia sangat menawan. Bukit-bukit hijau yang sebagian diselimuti salju yang mengelilinginya terlihat bagai lukisan.
Bagiku yang paling menarik tentu Alcazar atau Istananya yang tampak seperti istana impian yang sering kita lihat di Disney Land atau di Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta. Jangan-jangan Disney Land menduplikasi istana yang berada di puncak bukit Kota Segovia.
Di tempat ini banyak sekali katedral besar dan kecil yang tersebar di hampir setiap sudut kota, sehingga menciptakan suasana religius tersendiri. Diantara katedral-katedral tersebut terdapat Sinagog yang menjadi rumah ibadah penganut Yahudi, dan masjid yang menjadi tempat ibadah umat Islam.
Aku terkejut saat menyusuri gang-gang sempitnya, karena ada sinagog tua yang berdampingan dengan katedral. Salah satu bukti mereka sebagai komunitas agama yang berbeda dapat hidup berdampingan secara damai.
Di kota yang didominasi oleh warisan Romawi ini, tidak terlihat sama sekali sentuhan warisan Arab maupun Islam. Menurut Iqbal yang ahli sejarah menjelaskan bahwa wilayah ini sama sekali tidak disentuh oleh penguasa Muslim. Aku bertanya: “Apa penyebabnya sehingga penguasa Muslim yang mengendalikan seluruh wilayah ini lebih dari tujuh abad tidak menyentuhnya ?”.
Baca juga :
- Petrokimia Bertekad Pertahankan Gelar, TNI AL Ingin Bermain Tanpa Beban
- Putra Indomaret Akan Hadapi LavAni di Grand Final
- Putri TNI AL Dampingi Petrokimia di Grand Final, Usai Kalahkan Bank Jatim
- Indomaret dan LavAni Tinggal Selangkah Lagi ke Grand Final
- Petrokimia Gresik Menjadi Tim Pertama yang Lolos ke Grand Final
“Perlu penelitian tersendiri untuk menjawabnya. Perlu diketahui bahwa umat Islam yang datang ke sini bergerak dari wilayah Afrika Utara yang berada di Selatan Spanyol. Karena itu, mereka menguasai wilayah Selatan yang mengendalikan pemerintahan dari Kota Cordoba. Kota Segovia secara geografis berada di bagian Tengah. Selain itu, Pasukan Islam pada waktu itu, biasanya menawarkan tiga opsi kepada penguasa suatu wilayah sebelum memasukinya: Pertama, menerimanya dengan damai.
Saat memasukinya, dan saat mengelola wilayah ini, para penguasa Muslim kemudian memberikan kebebasan setiap agama untuk melaksanakan ibadahnya, serta tidak mengganggu rumah-rumah ibadah mereka. Kedua, jika penguasa lokal menolaknya, maka mereka akan diperangi.
Jika hal ini terjadi maka banyak gereja kemudian dikonversi menjadi masjid. Ketiga, jika mereka tidak menerima, akan tetapi juga tidak menolak. Pilihan yang terakhir ini mengharuskan mereka untuk membayar Zizyah, semacam pajak khusus bagi non-Muslim untuk mendapatkan perlindungan. Aku menduga wilayah ini bagian dari pilihan ketiga yang dilakukan penguasanya waktu itu, Wallahua.lam”, kata Iqbal yang menjelaskan Panjang-lebar.
Setelah puas menikmati berbagai sudut kota dan mengambil gambar, kami memutuskan untuk makan siang di Restoran Meson de Candido el Segoviano yang direkomendasikan Iqbal, karena disamping lokasinya bagus juga cita rasa makanannya. Kami kurang beruntung siang itu, karena kursi di luar sudah penuh di-booking orang, sehingga kami terpaksa duduk di dalam. Pada hari libur dan cuaca cerah, apalagi matahari bersinar terang para pengunjung lebih suka memilih tempat di ruang terbuka.
Q: “Mau makan apa ?”, tanya Iqbal sembari memegang buku menu.
Q: “Kambing, sapi, atau ikan ?”, katanya.
A: “Cordera”, jawabku yang berarti kambing dalam Bahasa Spanyol.
Q: “Beber?”, katanya yang beararti minum.
A: “Apakah punya fresh orange juice ?”.
Iqbal lalu memanggil pelayan dan dengan Bahasa Spanyol ia menanyakan apakah tersedia permintaanku. Petugas tersebut lalu menjelaskan bahwa di restorannya hanya menyediakan orange juice botol.
Aku terpaksa mengalihkan pilihanku: “te’ caliente”, jawabku kepada sang pelayan yang berarti teh panas.
Usai makan kami menuju Masjid As Salam yang berada tidak jauh dari Restoran tempat makan. Kami menemukan lokasinya melalui bantuan GoogleMap. Kami Shalat berjaamaah bersama penduduk setempat. Jamaah yang ikut shalat berjumlah sekitar tiga puluh orang. Aku berfikir kehadiran mereka untuk melaksanakan shalat berjamaah di waktu Ashar cukup besar. Di masjid-masjid di Yogyakarta saja jarang jumlah jamaah Shalat Asyar sebanyak ini.
Usai shalat seorang yang sebelumnya bertindak sebagai Muazin berdiri menyampaikan sesuatu dalam Bahasa yang aku tidak fahamii, bukan Bahasa Spanyol dan bukan pula Bahasa Arab.
Lalu aku mengambil inisiatif untuk mengenalkan bahwa kami dari Indonesia dengan menggunakan Bahasa Arab. Rupanya ia mengerti, walaupun tetap meresponnya dengan Bahasa yang aku tidak fahami.
“Nama saya Ahmed El-Waly, bisa berbahasa Spanyol?”, katanya bertanya.
Iqbal kemudian maju dan mengatakan:”Saya faham, saya akan bantu menterjemahkan. Ini teman saya yang ingin bersilaturrahim. Kami datang dari Indonesia”.
“Tiba-tiba Ahmed membelalakan matanya tanda terkejut, kemudian dengan antusias meminta seluruh jamaah mendekat dengan cara menggerak-gerakkan tangannya, sembari menyebut kata Indonesia berulang-ulang”, tampaknya ia mengajak jamaah untuk ikut menyambut kehadiran kami.
M: “Apa maksud tujuan kehadiran saudara berdua?”, katanya memulai.
A: “Sesama saudara Muslim kami ingin bersilaturrahim, untuk mengetahui keadaan saudara-saudara sekalian sesuai perintah agama”, jawabku.
M: “Kami sudah lama mendengar dan mengetahui bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Sungguh suatu kehormatan bagi kami dikunjungi oleh saudara yang datang dari negri yang sangat jauh. Masjid ini baru pertama kalinya dikunjungi orang Indonesia”, komentar Ahmed sambil meminta jamaah untuk semakin mendekat dengan isyarat tangannya kembali.
A: “Masjid ini kelihatannya terawat dengan baik, bersih, dan banyak jamaahnya”, kataku menyanjung.
M: “Betul, akan tetapi memerlukan biaya yang tidak kecil, ditambah dengan aktifitas pengajian untuk bapak-bapak, ibu-ibu, remaja, dan aktifitas pelajaran membaca Al Qur,an untuk anak-anak. Jumlah jamaah di sini terlalu kecil, dan dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan memaksa kami harus mencari tambahan ke sejumlah negara Eropa yang jumlah Muslimnya besar dengan kondisi ekonomi yang lebih baik, seperti: Perancis, Inggris, dan Jerman”, katanya.
A: “Semoga ke depan Indonesia dapat berpartisipasi”, kataku memberi harapan.
M: “Amin”, responnya singkat.
Ahmed kemudian melanjutkan: “Masjid ini dapat menampung jamaah sekitar 150 orang dalam keadaan normal. Saat ini karena harus menerapkan “Prokes” sesuai kebijakan Kerajaan saat menghadapi Pandemi Covid, maka kapasitas maksimal hanya separohnya.
Masjid ini merupakan masjid terbesar di kota Segovia yang hanya memiliki 2 masjid saja. Di kota ini umat Islam hidup sebagai minoritas sangat kecil diantara penganut Katolik dan Yahudi. Meskipun demikian kami hidup harmoni dan tidak ada persoalan terkait agama, baik dari masyarakat di sekitarnya maupun dari pemerintah setempat.”
Saat perjalanan kembali ke Madrid, Iqbal memberitahu: ”Di antara kita banyak yang beranggapan bahwa orang-orang Afrika Utara khususnya orang Maroko sebagai orang Arab. Padahal mereka lebih suka disebut Beber dibanding disebut Arab.
Memang diantara mereka mengalir darah Arab. Bahasa yang mereka gunakan sehari-hari juga bukan Bahasa Arab, dan sebagian besar mereka tidak faham Bahasa Arab. Tarik bin Ziyad sang Panglima penakluk Andalusia adalah orang Berber asli asal Afrika Utara, bukan orang Arab. Itulah sebabnya, ketika Kau menyapa dalam Bahasa Arab Fusha atau Bahasa Arab formal yang digunakan di dalam Al Qur·an mereka tidak faham”.
“Oh makanya tadi tidak nyambung”, komentarku singkat.
(Bersambung)