Di Beranda Istana Alhambra (28 – Mencari Dukungan Komunitas Indonesia di Malaga)
Setelah mendapatkan dukungan cukup luas dari kalangan mahasiswa dan professional di Spanyol pada khususnya dan Eropa pada umumnya, untuk menjadikan Islam sebagai Gerakan ilmu, kini Aku mulai berfikir bagaimana Islam dijadikan Gerakan ekonomi sebagai bagian dari agenda DMI.
Karena itu, kini aku menyiapkan langkah berikutnya, mengingat gagasan Islam sebagai gerakan ilmu hanya diikuti oleh kelas menengah ke atas, sementara jika Islam dijadikan gerakan ekonomi, maka terbuka peluang untuk melibatkan seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang berada di luar negri.
Untuk mensosialisasikan gagasan ini, Aku memilih Kota Malaga yang berada di wilayah otonomi Provinsi Andalusia. Kota Malaga merupakan kota Pelabuhan yang menghadap Laut Mediterania di Selatan Spanyol.
Di kota ini, sebagian besar imigran asal Indonesia bekerja di sektor informal, seperti terapis, penjaga bayi, penjaga orang tua, pelayan restoran, pegawai hotel, Anak Buah Kapal (ABK) dan wirausaha kecil-kecilan.
Menariknya, ternyata mereka bukan saja mampu bertahan, akan tetapi juga berhasil memberikan lapangan pekerjaan kepada saudara, keluarga, atau teman sekampungnya.
Bahkan ada yang memiliki restoran sendiri dan ada yang berhasil mendapatkan kepercayaan oleh pengusaha setempat untuk membuka toko roti.
Pertemuan dengan WNI yang tinggal dan bekerja di Kota Malaga dan sekitarnya diadakan di Mamma Leone Restaurant yang berlokasi di Benalmadena yang dimiliki oleh Sudirah perempuan Indonesia asli.
Ia menikah dengan pria asal Tunisia yang sudah menjadi warga Spanyol. Masakannya kombinasi antara masakan Indonesia, Tunisia, dan Spanyol. Restorannya cukup besar dan pegawainya berasal dari Indonesia dan Tunisia.
Hadir sekitar lima puluh orang, ada yang sudah berkeluarga dengan membawa anak-anak mereka, tetapi tidak sedikit yang masih gadis dan perjaka.
Diantara mereka juga terlihat didamping oleh suami atau istri orang Spanyol asli, sehingga anak-anak yang lahir terlihat lucu-lucu sekali.
Gagasanku menjadikan Diaspora Muslim Indonesia (DMI) sebagai gerakkan ekonomi disambut antusias oleh mereka yang hadir. Dalam dialog muncul sejumlah pertanyaan yang memberikan harapan;
W: “Mas saya ini datang ke Spanyol diajak teman sekampung, sekolah saya cuma sampai SD, karena susah cari kerja di Indonesia, maka saya mau diajak ke sini. Saya tidak mengerti ekonomi, tapi kalau ada yang membina atau mengajak kerjasama tentu saya akan senang, apalagi ada yang ngemodali,” kata seorang perempuan dengan dialek Tegal yang sangat kental.
A: “Berorganisasi itu pada prinsipnya saling membantu, yang punya keahlian pakai keahliannya, yang punya modal pakai modalnya, dan yang punya tenaga pakai tenaganya. Dengan bekerjasama, maka hasilnya akan lebih besar dibanding kerja sendiri-sendiri”.
W: “Mas saya ini non-Muslim, apakah boleh bergabung ?” tanya seorang pemuda yang bermata sipit.
A: “Sebetulnya wadah ini dibentuk untuk melindungi dan membantu WNI yang berada di negara lain, jadi apapun agamanya, apapun sukunya, asalkan ia WNI boleh bergabung. Apalagi fokus kegiatannya nanti ekonomi atau bisnis, dalam Islam berbisnis dengan siapa saja boleh, dengan kata lain bisnis tidak mengenal agama, tidak mengenal suku, juga tidak mengenal negara”.
W: “Mas Saya asal Malang, saya bekerja di TV setempat, selain itu saya juga Youtuber. Suami saya orang Spanyol asli. Apa keuntungan bagi saya kalau bergabung dengan DMI ?” tanya seorang Wanita dengan menggunakan celana Jean yang didampingi oleh suami bulenya.
A: “Keuntungan pertama tentu mempereratkan hubungan kekeluargaan sesam WNI di rantu hitung-hitung nambah saudara, sehingga kalau terjadi apa-apa bisa saling tolong-menolong. Kedua, sebagai Youtuber bisa minta bantuan teman-teman untuk men-share setiap kali memunculkan video baru, agar subscribernya bertambah dan yang “like” juga bertambah, dengan demikian penghasilan bisa bertambah. Ketiga, dengan banyak teman akan ada diskusi yang memungkinkan gagasan-gagasan baru muncul, bukan mustahil akan muncul ide bisnis baru yang lebih menjanjikan”.
Aku perhatikan seorang perempuan Jawa yang badannya sangat kecil didampingi seorang pemuda Spanyol yang sangat tinggi dan ganteng berdiri di sudut ruangan terus berbincang. Keisenganku muncul, lalu Aku tanya;
A: “Mbak namya siapa ?”
W: “saya ?”, katanya ragu.
A: “Ya, siapa lagi kalau bukan si Melati dari Indonesia,” jawabku sambil senyum.
W: “Aku Sutinah,” jawabnya sambil bergelayut di bahu suaminya.
A: “Itu kok bawa-bawa pengawal ?” kataku dengan nada bercanda.
W: “Ini suamiku Mas !” jawabnya dengan suara manja.
A: “Kamu kok pinter, bagaimana caranya dapat suami ngganteng seperti dia ?”.
W: “Ternyata jamu Jawa manjur Mas,” disambut gelak tawa semua yang hadir, sementara suaminya hanya tersenyum melihat istrinya jadi pusat perhatian.
A: “Suamimu kerja apa ?”.
W: “Di perusahan energi yang bergerak di bidang minyak dan gas”.
A: “Dia ngerti Bahasa Indonesia ?”.
W: “Ya pasti tidak ! Wong bendino ngomong coro Spanyol,” sambil tersenyum dan menghadap ke kawajah suaminya, sambil melingkarkan tangan kecilnya ke pinggang si suami.
Aku kemudian dibisiki Iqbal yang berada disampingku: “Banyak orang Spanyol melihat orang Asia sangat eksotik”.
A: “Maksudnya ?” aku tak mengerti.
I: “Bagi mereka hidung mancung sudah biasa, justru hidung yang tidak mancung yang dilihat luar biasa. Begitu juga kulit putih atau kemerahan sudah biasa, yang dianggap menarik justru kulit gelap atau hitam”.
Iqbal juga menjelaskan bahwa secara keseluruhan terdapat sekitar 1.600 WNI yang berdomisili di berbagai kota di Spanyol. Dari 1.600 WNI, sekitar 1.200 bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK) di kapal penangkap ikan berbendera Spanyol. Lainnya bekerja di sektor swasta migas, perusahaan teknologi, pengusaha restoran, juru masak, rohaniawan, mahasiswa, dan seniman.
Diantara mereka terdapat lebih dari seratus pasangan campuran Indonesia-Spanyol, atau Indonesia dengan warga negara asing lainnya yang tinggal di Spanyol.
Acara dilanjutkan sesi foto bersama. Beberapa pasangan dan beberapa keluarga yang membawa serta anak-anak mereka secara bergantian meminta foto denganku, tentu Aku sambut gembira. Mereka sepertinya masih sulit antre sehingga terkadang seperti royokan, mengingatkanku suasana di kampung atau di tanah air.
Sampai tiba giliran seorang perempuan membawa dua anak, yang satu laki-laki dan satunya lagi perempuan. Kedua anak itu berhidung mancung, Aku menduga si perempuan ini bekerja sebagai pengasuh anak. Akan tetapi untuk memastikan, Aku tanya:
A: “Ini anak majikanmu ?”.
W:”Boten Mas, niki anak Kulo”, Aku terperanjat mendengarnya.
A: “Mana Bapaknya ?”, Aku bertanya.
W: “Nunggu di luar”.
A: “Lho kok nggak diajak masuk ?”.
W: “Malu katanya”.
A:” “Coba panggil, Aku mau kenalan!”, pintaku.
Kemudian masuk seorang laki-laki berwajah mirip Syahru Khan, dengan menggunakan Bahasa Inggris Aku bertanya kepadanya;
A: “Betul ini anak anda ?”.
W: “Betul, Kami menikah enam tahun lalu”:
A: “Anda bekerja dimana ?”.
W: “Di sebuah perusahan Spanyol yang bergerak di bidang konstruksi”.
A: “Asal dari mana ?”.
W: “India”.
A: “Agama anda Hindu ya ?”.
W: “Saya beragama Islam”.
A: “Anakmu cakep-cakep, mirip bintang film Bollywood !”, komentarku menggoda sambil mengarahkan wajahku ke Ibunya.
W: “Perbaikan keturunan Mas !” komentarnya sambil tertawa lepas.
Usai pertemuan Aku didamping Iqbal, seperti biasanya memanfaatkan waktu untuk melihat berbagai peninggalan Islam yang berada di tempat-tempat yang Aku kunjungi. Di kota ini, terdapat benteng dan kompleks Istananya bernama Alcazaba, berada di puncak bukit Gibralfaro yang menghadap ke laut.
Dari posisi ini terlihat secara keseluruhan kota Malaga dan pelabuhannya, serta pantainya yang indah.
Alcazaba berasal dari Bahasa Arab “al qazbah” yang berarti benteng atau tempat bertahan. Jalan menuju kompleks ini sangat terjal, disamping berliku, melewati dinding-dindingnya yang kokoh, yang dilengkapi dengan lubang-lubang untuk para pemanah, atau untuk ditempati moncong-moncong meriam. Sebenarnya Benteng dan Istananya berada dalam kompleks yang terpisah, akan tetapi tersambung oleh jalan setapak.
Tampaknya perancang dari kompleks ini sudah mengantisipasi, jika kemungkinan terburuk terjadi, sehingga keluarga Raja dapat diamankan dari Istana, untuk diungsikan ke Benteng yang posisinya lebih tinggi, dan lebih kokoh. Kini Alcazaba berstatus sebagai museum yang ramai dikunjungi turis.
Kompleks ini pertama kali dibangun pada tahun 1057 M sampai 1063 M ,oleh salah satu Emir dari Taifa bernama Badis yang sering disebut Hammudidas yang berasal dari suku Berber yang berkuasa di Granada.
Badis dan pasukannya memanfaatkan reruntuhan puing-puing bekas bangunan Romawi yang dibangun pada abad pertama Sebelum Masehi, yang sisa-sisanya masih dapat dilihat dalam bentuk Amphitheater di sebelah pintu masuknya sampai sekarang.
Pada 1279 M, Al Ahmar yang berkuasa di Granada menduduki wilayah ini, kemudian menjadikannya bagian dari wilayah Granada.
Saat itu dilakukan renovasi besar-besaran, sehingga saluran airnya, taman-tamannya, serta benteng maupun istananya secara keseluruhan banyak kemiripan dengan Alhambra.
Raja Ferdinand dan pasangannya Ratu Isabella merebut wilayah ini pada tahun 1487 M, sebagai bagian dari Reconquista. Jatuhnya Malaga membuat jalan untuk mengambil-alih Granada semakin terbuka.
Menurut seorang pengamat arsitektur bangunan bernama Leopoldo Torres Balbas, Alcazba memiliki ciri arsitektur khas berbagai bangunan yang dibuat oleh bangsa Moors, sebutan pada percampuran antara suku Arab dan Barber yang berasal dari Afrika Utara, di era Taifah atau masa perpecahan diantara penguasa Muslim. Bentuknya sangat mirip dengan benteng Krak yang berada di Suriah.
Sebelum Kembali ke Madrid, Aku dan Iqbal menyempatkan diri berjalan-jalan di Pantai Kota Malaga yang sangat bersih dan sangat enak untuk pejalan kaki. Aku melihat berbagai restoran berjajar sepanjang pantai, tampak dikelola secara modern dan professional. Aku tidak henti-hentinya berdecak kagum, sembari membayangkan kapan pantai-pantai di Indonesia ditata dan dikelola seperti ini.
“Hampir semua pantai-pantai di Spanyol seperti ini, karena keterlibatan Pemerintah dan dukungannya pada para pengusaha kecil dan menengahnya,” jelas Iqbal.
Kami berdua lalu berhenti di Restoran Marisqueria Godoy,Puerto de Malaga, yang menyediakan berbagai macam seafood yang dimasak sangat enak sekali, mirip dengan Bandar Jakarta.
(Bersambung)