Yogyakarta, Konflik Babarsari, dan Sanksi Sosial

Ilustrasi

Oleh : Dr. ANDRY WIBOWO SIK MH MSI

Dimanapun di dunia kota merupakan simbol modernitas, multikulturalitas dan kompleksitas peristiwa sosial. Modernitas kota nampak tidak hanya dari aspek fisik gedung pencakar langit, tetapi juga dari aspek non fisik berupa pola pikir dan budaya masyarakatnya.

Sebagai epicentrum kehidupan kota menjadi dream spot, tempat banyak orang bermimpi dan meletakan harapan. Begitu pentingnya kota bagi banyak orang mengakibatkan kota menjadi wilayah yang potensial melahirkan konflik. Perebutan ruang sosial, beraneka ragam konflik dengan banyak aktor dan motivasi.

Kasus konflik di Babarsari dan Klitih adalah contoh kecil dari wujud konflik di perkotaan yang timbul dan menjadi persoalan pemerintah dan masyarakat. Tentunya masih banyak lagi konflik dengan skala dan spektrum yang berbeda.

Konflik dalam ruang sosial perkotaan tentu tidak bisa dihindari. Karena dengan semakin tinggi interaksi dan aktifitas sosial masyarakat maka potensi konflik pun semakin tinggi. Masyarakat perkotaan dengan perilaku yang berbeda jika dilihat dari aspek psikologi, politik, ekonomi maupun orientasi memaknai ruang dan kompetisi yang akan melahirkan beragam status sosial.

Tingginya intensitas interaksi dan aktifitas sosial di perkotaan memiliki kecenderungan melahirkan konflik yang sering terjadi secara tiba tiba, tanpa diduga dan bersifat insiden dan eksiden serta berulang. Namun demikian konflik keduanya relatif bersifat ajeg dan mampu dipelajari konstruksi konfliknya sehingga melahirkan model pengukuran yang disebut dengan “conflict index.” Karena pada dasarnya konflik itu sendiri adalah bagian yang tidak terlepaskan dari kehidupan.

Upaya yang bisa dilakukan untuk meresponse potensi konflik di perkotaan adalah melalui pendidikan tentang pengenalan konflik sejak dini; kesiapan aparatur meliputi kepemimpinan, sumber daya organisasi dan efektifitas pemerintahan untuk meresponse dengan cepat segala bentuk “insiden” yang terjadi di masyarakat. Termasuk di dalamnya membuat regulasi (pidana, perdata dan sosial) yang mampu memberikan efek jera bagi mereka yang sengaja menjadi bagian dari konflik yang mengancam sendi kehidupan sosial bersama.

Kasus Babarsari dan Klitih yang terjadi di wilayah yang istimewa ini dapat menjadi pintu masuk bagi pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta untuk membuat sistem agar kejadian ini tidak terulang. Pada kasus Klitih, Walikota Yogya telah menerbitkan aturan tentang jam malam bagi anak muda. Hal ini menjadi salah satu instrumen yang jika ditegakkan secara efektif akan mampu meminimalisir peristiwa sejenis terjadi kembali.

Bagaimana kemudian dengan kasus Babarsari ? Menurut hemat saya regulasi sanksi sosial perlu dibuat dan diuji coba. Selain upaya pokok pemidanaan yang maksimal terhadap mereka yang terlibat.

Belajar dari peristiwa terorisme global dan kejahatan transnasional lainnya, komunitas internasional melakukan pembatasan mobilitas terhadap individu, kelompok dan organisasi yang secara nyata terlibat dalam aksi terorisme termasuk pembatasan aktifitas ekonominya.

Di dunia industri sepak bola juga menerapkan sanksi sosial kepada individu, kelompok dan organisasi yang terlibat dalam “ kekerasan atau kejahatan lain “ di dunia persepakbolaan. Mereka mendapatkan sanksi dilarang datang ke negara atau stadion sepak bola dalam batas waktu yang ditentukan.

Saya kira Yogyakarta sebagai kota sejarah, kota budaya, kota pendidikan dan kota toleransi dapat memulainya untuk membuat regulasi yang membatasi mobilisasi individu, kelompok dan organisasi apapun yang terbukti datang dan hidup di wilayah ini untuk membangun konflik yang mengancam harmoni sosial dan rasa tentram masyarakatnya.

Karena potensi konflik yang tinggi dari multikurarisme, modernitas dan kompleksitas kehidupan di perkotaan harus bisa diikuti dengan kesiapan pemerintahan yang efektif.

Setelah sebelumnya Daerah Istimewa Yogyakarta memiiki perda Pancasila yang mengatur tentang implementasi Pancasila dalam kehidupan sosial. Sudah saatnya Perda Pancasila ini diikuti dengan aturan pelaksanaan dan sanksi sosial bagi mereka yang datang ke yogyakarta untuk membangun konflik yang dapat mengancam harmoni sosial dan kesatuan nasional.

Yogyakarta , 6 Juli 2022

( Dr. ANDRY WIBOWO SIK MH MSI : Pemerhati konflik identitas, mantan anggota pasukan perdamaian PBB di Bosnia, konseptor operasi Camar Maleo 2011-2012 di Poso, dan mantan anggota Implementasi Perundingan Damai di ACEH 2003-2004)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.